Rabu, 26 Oktober 2011

MOTIVASI

DR. EDDI SUPRAYITNO


Motivasi berasal dari kata motif yang berarti dorongan atau alasan. Motif merupakan tenaga pendorong yang mendorong manusia untuk bertindak atau suatu tenaga di dalam diri manusia, yang menyebabkan manusia bertindak atau melakukan sesuatu.

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:80) “Motivasi dipandang sebagai dorongan mental yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia termasuk perilaku belajar”. Sejalan dengan itu, Ratumanan (2002:72) mengatakan
bahwa; “Motivasi adalah sebagai dorongan dasar yang menggerakkan seseorang bertingkah laku”. Sedangkan motivasi belajar adalah “Keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar itu demi mencapai suatu tujuan (Tadjab, 1994:102)”.

Dari beberapa pengertian di atas dapat dikatakan bahwa motivasi memiliki 3 komponen, yaitu: a) kebutuhan, kebutuhan terjadi bila individu merasa ada ketidak seimbangan antara apa yang dimiliki dari apa yang ia harapkan; b) dorongan, merupakan kegiatan mental untuk melakukan suatu.; dan c) tujuan, tujuan adalah hal yang ingin dicapai oleh individu. Seseorang yang mempunyai tujuan tertentu dalam melakukan suatu pekerjaan, maka ia akan melakukan pekerjaan tersebut dengan penuh semangat.

Pengaruh motivasi terhadap seseorang tergantung seberapa besar motivasi itu mampu membangkitkan motivasi seseorang untuk bertingkat laku. Dengan motivasi yang besar, maka seseorang akan melakukan sesuatu pekerjaan dengan lebih memusatkan pada tujuan dan akan lebih intensif pada proses pengerjaannya. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri seseorang yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegaitan belajar dan memberikan arah pada kegiatna
belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat tercapai.

Motivasi dapat dibedakan menjadi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik (Sardiman, 2005:189). Motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Sejalan dengan itu pula, Suryabrata (1994:72) juga membagi
motivasi menjadi 2 yaitu: a) motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang berfungsi karena adanya rangsangan dari luar; dan b) motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang berfungsi meskipun tidak mendapat rangsangan dari luar.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar pada dasarnya ada dua yaitu: motivasi yang datang sendiri dan motivasi yang ada karena adanya rangsangan dari luar. Kedua bentuk motivasi belajar ini sangat
berpengaruh terhadap prestasi belajar.

Setiap motivasi itu bertalian erat hubungan dengan tujuan atau suatu citacita, maka makin tinggi harga suatu tujuan itu, maka makin kuat motivasi seseorang untuk mencapai tujuan. Purwanto (1996:70) mengatakan bahwa fungsi
motivasi ada 3 yaitu: a) motivasi itu mendorong manusia untuk berbuat atau bertindak, motivasi ini berfungsi sebagai penggerak atau sebagai motor yang memberikan energi kepada seseorang untuk melakukan sesuatu; b) motivasi itu menentukan arah perbuatan ke arah perwujudan suatu tujuan atau cita-cita, dalam hal ini motivasi mencegah penyelewengan dari jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan itu, sehingga makin jelas tujuan itu, makin jelas pula terbentang jalan yang harus ditempuh; dan c) motivasi itu menyeleksi perbuatan kita, artinya menentukan perbuatan mana yang dilakuan dilakukan, yang serasi, guna mencapai tujuan itu dengan mengenyampingkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan itu.

Dalam kajian teori motivasi ada yang dikenal dengan teori kebutuhan. Teori ini dikemukakan oleh A.H. Maslow yang mengemukakan bahwa orang termotivasi untuk melakukan sesuatu karena didasari adanya kebutuhan dalam dirinya, yang terbagi menjadi 5 (lima) kebutuhan yaitu: (1) kebutuhan fisiologis yang merupakan kebutuhan manusia untuk bertahan hidup atau juga disebut kebutuhan pokok yang terdiri dari kebutuhan makan, minum, pakaian, dan tempat
tinggal; (2) kebutuhan rasa aman yang meliputi keamanan akan perlindungan dari bahaya kecelakaan kerja dan jaminan hari tua; (3) kebutuhan sosial yang berupa kebutuhan-kebutuhan seseorang untuk diterima dalam kelompok tertentu yang menyenangkan bagi dirinya; (4) kebutuhan penghargaan seperti halnya kabutuhan bagi seorang pegawai yang bekerja dengan baik tentu ingin mendapat penghargaan dan pengakuan dari atasan ataupun pujian dari teman kerjanya atas prestasinya dan; (5) kebutuhan aktualisasi diri yang berupa kebutuhan yang muncul dari seseorang dalam proses pengembangan potensi dan kemampuannya untuk menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya (Hasibuan, 2003:104-107).

Siagian (2002:107) mengungkapkan teori motivasi yang dikemukakan oleh Frederick Herzberg yang dikenal dengan Hygiene theory. Menurut teori ini faktor-faktor yang mendorong aspek motivasi adalah keberhasilan, pengakuan sifat pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang, kesempatan untuk meraih kemajuan dan pertumbuhan. Sedangkan faktor higiene yang menonjol ialah kebijaksanaan perusahaan, supervisi, kondisi pekerjaan, upah dan gaji, hubungan dengan rekan sekerja, kehidupan pribadi, hubungan dengan para bawahan, status dan keamanan. Dalam teori ini ada yang disebut dengan istilah faktor pendorong (motivation faktor). Faktor ini dapat menyebabkan peningkatan kepuasan kerja, namun pengurangan terhadap faktor ini tidak secara otomatis mengakibatkan munculnya ketidakpuasan kerja. Di lain pihak adanya peningkatan faktor yang menimbulkan ketidak puasan cenderung untuk mengurangi ketidakpuasan kerja. Akan tetapi walaupun ada penambahan dalam faktor-faktor ini, ternyata tidak secara otomatis dapat mendorong munculnya kepuasan kerja. Jadi faktor pendorong merupakan faktor yang meningkatkan kerja sedangkan faktor penyehat sebagai pemelihara kerja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, manusia membutuhkan kebutuhan kesehatan dan selanjutnya setiap individu memiliki peluang untuk mengembangkan dirinya.

Sejalan dengan dua teori ketuhan terdahulu, Alferder mengelompokkan kebutuhan menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) kebutuhan keberadaan yang berkaitan dengan kebutuhan untuk bisa tetap bertahan hidup seperti halnya kebutuhan untuk tetap dapat makan, minum, tempat tinggal, pakaian dan sebagainya seperti halnya kebutuhan fisiologisnya Maslow; (2) kebutuhan berhubungan yang merupakan kebutuhan yang berkaitan dengan kepuasan dalam
berinteraksi dalam lingkungan hidup dan juga lingkungan kerja dan ; (3) kebutuhan berkembang yang merupakan kebutuhan yang berhubungan dengan keinginan intrinsik dari seseorang untuk mengembangkan dirinya. (Thoha, 2004:233)

Pada sisi lain Mc Clelland (Mangkunegara, 2004:97) menyebutkan juga adanya tiga kebutuhan manusia, yaitu : (1) Need for achievement, yaitu kebutuhan untuk berprestasi yang merupakan refleksi dari dorongan akan tanggung jawab untuk pemecahan masalah; (2) Need for affiliation, yaitu kebutuhan untuk berafiliasi atau bergabung dan bercampur dengan orang lain yang merupakan dorongan untuk berinteraksi dengan orang lain tanpa merugikan orang lain dan ; (3) Need for power, yaitu kebutuhan untuk mimiliki kekuasaan yang merupakan refleksi dari dorongan untuk mencari otoritas dan memiliki pengaruh terhadap orang lain.

Dari teori-teori motivasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebutuhan merupakan dasar yang sangat fundamental bagi perilaku seseorang. Karena itu jika kebutuhan seseorang tidak terpenuhi cenderung untuk malas bekerja, sebaliknya jika kebutuhannya terpenuhi maka seseorang akan memiliki gairah kerja bahkan dengan semangat yang lebih tinggi.

KINERJA (Suatu Pengantar)

DR. EDDI SUPRAYITNO


Pendahuluan
Menurut Sastrohadiwiryo (2002:231), Penilaian kinerja adalah suatu kegiatan yang dilakukan menajemen/penyelia penilai untuk menilai kinerja tenaga kerja dengan cara membandingkan kinerja atas kinerja dengan uraian/deksripsi pekerjaan dalam suatu periode tertentu yang biasanya setiap akhir tahun.

Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengukur kinerja masing-masing tenaga kerja dalam mengembangkan kualitas kerja, pembinaan selanjutnya, tindakan perbaikan atas pekerjaan yang kurang sesuai dengan deskripsi pekerjaan, serta untuk keperluan yang berhubungan dengan masalah ketenagakerjaan lainnya. Penilaian kinerja terhadap tenaga kerja biasanya dilakukan oleh manajemen/penyelia yang hirarkinya langsung diatas tenaga kerja yang bersangkutan atau manajemen/penyelia yang ditunjuk untuk itu.

Menurut Handoko (2000:125), penilaian kinerja adalah proses melalui dimana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Dalam meningkatkan prestasi kerja karyawan seorang pemimpin dapat melakukannya dengan memotivasi bawahannya. Seorang pemimpin tidak hanya bertujuan untuk mencapai keuntungannya sendiri, tetapi karena ia mempunyai keinginan yang kuat untuk berprestasi.

Kinerja merupakan sistem yang memuat pengelolaan kinerja satuan kerja hingga ke individu dalam suatu organisasi atau institusi. Proses pengelolaan ini dapat diintegrasikan dalam sistem Business Iltelligent untuk tujuan menggambarkan penyelarasan beban tugas antar bagian dan menilai kinerja setiap bagian dalam mencapai target yang ditetapkan untuk setiap tahun berjalan.

Landasan utama dalam penyelenggaraan penilaian kinerja yang efektif adalah kesadaran bahwa keberhasilannya paling tidak dipengaruhi oleh masalah prosedur dan proses maupun jenis bentuk atau system pencatatan standar yang digunakan.

Selain dapat digunakan sebagai standar dalam penentuan tinggi rendahnya kompensasi serta administrasi bagi tenaga kerja. Menurut Sastrohadiwiryo (2002 : 233), penilaian kinerja dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Sumber data untuk perencanaan ketenagakerjaan dan kegiatan pengembangan jangka panjang bagi perusahaan yang bersangkutan.
2. Nasehat yang perlu disampaikan kepada para tenaga kerja dalam perusahaan.
3. Alat untuk memberikan umpan balik (feed back) yang mendorong kearah kemajuan dan kemungkinan memperbaiki/meningkatkan kualitas kerja bagi para tenaga kerja.
4. Salah satu cara untuk menetapkan kinerja yang diharapkan dari seorang pemegang tugas dan pekerjaan.
5. Landasan/bahan informasi dalam pengambilan keputusan pada bidang ketenagakerjaan, baik promosi, mutasi, maupun kegiatan ketenagakerjaan lainnya.

Jenis-Jenis Kinerja
Menurut Rivai (2005:233) ada beberapa jenis penilaian kinerja yaitu:
1. Penilaian hanya oleh atasan
a. Cepat dan langsung
b. Dapat mengarah ke distorsi karena pertimbangan-pertimbangan pribadi

2. Penilaian oleh kelompok lini
Atasan dan atasan bersama-sama membahas kinerja dari bawahannya yang dinilai
a. Objektivitas lebih akurat disbanding kalau hanya oleh atasan sendiri
b. Individu yang dinilai tinggi dapat mendominasi penilaian.

3. Penilaian oleh kelompaok staf
Atasan meminta satu atau lebih individu untuk mermusyawarah dengannya; atasan langsung yang membuat keputusan akhir.
a. Penilaian gabungan yang masuk akal dan wajar.

4. Penilaian melalui keputusan komite
Sama seperti pada pola sebelumnya kecuali bahwa manajer yang bertanggungjawab tidak lagi mengambil keputusan akhir, hasilnya didasarkan pada pilihan mayoritas.
a. Memperluas pertimbangan yang ekstrem
b. Memperlemah integritas manajer yang bertanggungjawab

5. Penilaian berdasarkan peninjauan lapangan
Sama seperti pada kelompok staf, namun dalam hal ini melibatkan wakil dan pimpinan pengembangan atau departemen SDM yang bertindak sebagai peninjau yang independen
a. Membawa satu pikiran yang tetap kedalam satu penilaian lintas sector yang besar.
6. Penilaian oleh bawahan dan sejawat
a. Mungkin terlalu subjektif
b. Mungkin digunakan sebagai tambahan pada metode penilaian yang lain.

Unsur-Unsur Kinerja
Menurut Siswanto (1987:194), pada umumnya unsur-unsur yang perlu diadakan penilaian dalam proses penilaian pelaksanaan pekerjaan antara lain:

1. Kesetiaan
Kesetiaan yang dimaksud adalah tekad dan kesanggupan mentaati, melaksanakan, dan mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab. Tekad dan kesanggupan tersebut harus dibuktikan dengan sikap dan tingkah laku tenaga kerja yang bersangkutan dalam kegiatan sehari-hari serta dalam perbuatan dan melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diemban kepadanya. Kesetiaan tenaga kerja terhadap perusahaan sangat berhubungan dengan pengabdiannya. Pengabdian yang dimaksud adalah sumbangan pikiran dan tenaga yang ikhlas dengan mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.

2. Prestasi Kerja
Yang dimaksud dengan prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seorang tenaga kerja dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Pada umumnya prestasi kerja seorang tenaga kerja antara lain dipengaruhi oleh kecakapan, ketrampilan, dan kesungguhan tenaga kerja yang bersangkutan.

3. Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah kesanggupan seorang tenaga kerja dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani memikul resiko atas keputusan yang telah diambilnya atau tindakan yang dilakukannya.

4. Keta’atan
Ketaatan adalah kesanggupan seseorang tenaga kerja untuk mentaati segala ketentuan, peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku, mentaati perintah kedinasan yang diberikan oleh atasan yang berwenang, serta kesanggupan untuk tidak melanggar larangan yang telah ditentukan oleh perusahaan maupun pemerintah, baik secara tertulis maupun tidak tertulis.

5. Kejujuran
Kejujuran adalah ketulusan hati seorang tenaga kerja dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan serta kemampuan tidak menyalahkangunakan wewenang yang telah diberikan kepadanya.

6. Kerjasama
Kerjasama adalah kemampuan seorang tenaga kerja untuk bekerja bersama-sama dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas dan pekerjaan yang telah ditentukan, sehingga mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar besarnya.

7. Prakarsa
Prakarsa adalah kemampuan seorang tenaga kerja untuk mengambil keputusan, langkah-langkah atau melaksanakan sesuatu tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok tanpa mununggu perintah dan bimbingan dari manajemen lininya.

8. Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki oleh seorang tenaga kerja untuk meyakinkan orang lain (tenaga kerja lain) sehingga dapat dikerahkan secara maksimal untuk melaksanakan tugas pokok. Penilaian unsure kepemimpinan bagi tenaga kerja sebenarnya khusus diperuntukkan bagi tenaga kerja yang mempunyai jabatan dalam perusahaan, baik Top Management, Middle Management maupun Lower Management

Faktor Penilaian Kinerja
Faktor-faktor penilaian kinerja adalah aspek yang diukur dalam proses penilaian kinerja individu. Menurut Casco dalam Handoko Kartjantoro, 2004, umumnya factor penilaian terdiri dari empat unsure utama, yaitu:
1. Hasil kerja, yaitu keberhasilan karyawan dalam melaksanakan pekerjaan.
2. Prilaku, yaitu aspek tindak tanduk pegawai dalam melaksanakan pekerjaan.
3. Kompetensi, yaitu kemahiran atau penguasaan pegawai terhadap tuntutan tugas dan jabatan.
4. Potensi, yaitu pengamatan terhadap kemampuan pegawai dimasa depan.

Aspek penting dalam penilaian kinerja adalah factor-faktor penilaian itu sendiri. Ada beberapa prinsip dalam memilih factor-faktor yang menjadi penilaian yaitu:
1. Relevance, yaitu harus ada kesesuaian antara factor-faktor penilaian dengan tujuan sistem penilaian.
2. Acceptability, yaitu dapat diterima atau disepakati pegawai.
3. Reliability, yaitu factor penilai harus dapat dipercaya dan diukur karayawan.
4. Sensitivity, yaitu dapat membedakan kinerja yang baik dan kinerja yang buruk.
5. Practicaliity, yaitu mudah dipahami dan diterapkan.

Menurut Gibson yang dikutip oleh Ilyas (1999:57) untuk mencapai kinerja yang baik ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja yaitu: Pertama, variabel individu, yang meliputi: Kemampuan dan keterampilan; Latar belakang keluarga, tingkat sosial, pengalaman, umur, etnis, jenis kelamin; Kedua, variabel organisasi, yang mencakup antara lain: Sumber daya; Kepemimpinan; Imbalan; Struktur; Desain pekerjaan; Ketiga, variabel psikologis, yang meliputi: Presepsi; Sikap; Kepribadian; Belajar; Motivasi.

Disamping factor-faktor tersebut diatas, penilaian kinerja didasarkan pada indicator sebagai berikuti:
1. Quality of work, yaitu kualitas kerja yang tercapai berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan.
2. Quantity of work, yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang telah ditentukan.
3. Job Knowledge, yaitu pemahaman pegawai mengenai prosedur atau tata cara kerja serta informasi teknis tentang pekerjaan.
4. Dependability, yaitu kemampuan untuk diandalkan khususnya dalam bekerja atau kemampuan menyelesaikan pekerjaan secara tepat sesuai dengan waktu yang ditentukan.
5. Adaptability, yaitu kemampuan beradaptasi atau kemampuan menanggapi kondisi dan perubahan yang terjadi di tempat kerja.
6. Initiative, yaitu upaya untuk melakukan hal-hal baru berkaitan dengan pekerjaan.
7. Creative, yaitu kemampuan memunculkan gagasan baru atau ide-ide baru berkaitan dengan pekerjaan.
8. Problem solving, Problem solving, yaitu kemampuan dalam melakukan tindakan-tindakan untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang timbul
9. Attendence, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan absensi atau sering tidaknya karyawan meninggalkan pekerjaan.
10. Cooperation, yaitu kesediaan pegawai untuk bekerjasama dan berpartisifasi dengan pegawai lainnya baik secara vertical maupun horizontal di dalam atau di luar pekerjaan

Jumat, 14 Oktober 2011

KINERJA
DR. EDDI SUPRAYITNO


Pendahuluan
Menurut Sastrohadiwiryo (2002:231), Penilaian kinerja adalah suatu kegiatan yang dilakukan menajemen/penyelia penilai untuk menilai kinerja tenaga kerja dengan cara membandingkan kinerja atas kinerja dengan uraian/deksripsi pekerjaan dalam suatu periode tertentu yang biasanya setiap akhir tahun.

Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengukur kinerja masing-masing tenaga kerja dalam mengembangkan kualitas kerja, pembinaan selanjutnya, tindakan perbaikan atas pekerjaan yang kurang sesuai dengan deskripsi pekerjaan, serta untuk keperluan yang berhubungan dengan masalah ketenagakerjaan lainnya. Penilaian kinerja terhadap tenaga kerja biasanya dilakukan oleh manajemen/penyelia yang hirarkinya langsung diatas tenaga kerja yang bersangkutan atau manajemen/penyelia yang ditunjuk untuk itu.

Menurut Handoko (2000:125), penilaian kinerja adalah proses melalui dimana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Dalam meningkatkan prestasi kerja karyawan seorang pemimpin dapat melakukannya dengan memotivasi bawahannya. Seorang pemimpin tidak hanya bertujuan untuk mencapai keuntungannya sendiri, tetapi karena ia mempunyai keinginan yang kuat untuk berprestasi.

Kinerja merupakan sistem yang memuat pengelolaan kinerja satuan kerja hingga ke individu dalam suatu organisasi atau institusi. Proses pengelolaan ini dapat diintegrasikan dalam sistem Business Iltelligent untuk tujuan menggambarkan penyelarasan beban tugas antar bagian dan menilai kinerja setiap bagian dalam mencapai target yang ditetapkan untuk setiap tahun berjalan.

Landasan utama dalam penyelenggaraan penilaian kinerja yang efektif adalah kesadaran bahwa keberhasilannya paling tidak dipengaruhi oleh masalah prosedur dan proses maupun jenis bentuk atau system pencatatan standar yang digunakan.

Selain dapat digunakan sebagai standar dalam penentuan tinggi rendahnya kompensasi serta administrasi bagi tenaga kerja. Menurut Sastrohadiwiryo (2002 : 233), penilaian kinerja dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1.Sumber data untuk perencanaan ketenagakerjaan dan kegiatan pengembangan jangka panjang bagi perusahaan yang bersangkutan.
2.Nasehat yang perlu disampaikan kepada para tenaga kerja dalam perusahaan.
3.Alat untuk memberikan umpan balik (feed back) yang mendorong kearah kemajuan dan kemungkinan memperbaiki/meningkatkan kualitas kerja bagi para tenaga kerja.
4.Salah satu cara untuk menetapkan kinerja yang diharapkan dari seorang pemegang tugas dan pekerjaan.
5.Landasan/bahan informasi dalam pengambilan keputusan pada bidang ketenagakerjaan, baik promosi, mutasi, maupun kegiatan ketenagakerjaan lainnya.

Jenis-Jenis Kinerja
Menurut Rivai (2005:233) ada beberapa jenis penilaian kinerja yaitu:
1.Penilaian hanya oleh atasan
a.Cepat dan langsung
b.Dapat mengarah ke distorsi karena pertimbangan-pertimbangan pribadi

2.Penilaian oleh kelompok lini
Atasan dan atasan bersama-sama membahas kinerja dari bawahannya yang dinilai
a.Objektivitas lebih akurat disbanding kalau hanya oleh atasan sendiri
b.Individu yang dinilai tinggi dapat mendominasi penilaian.

3.Penilaian oleh kelompok staf
Atasan meminta satu atau lebih individu untuk mermusyawarah dengannya; atasan langsung yang membuat keputusan akhir.
a.Penilaian gabungan yang masuk akal dan wajar.

4.Penilaian melalui keputusan komite
Sama seperti pada pola sebelumnya kecuali bahwa manajer yang bertanggungjawab tidak lagi mengambil keputusan akhir, hasilnya didasarkan pada pilihan mayoritas.
a.Memperluas pertimbangan yang ekstrem
b.Memperlemah integritas manajer yang bertanggungjawab

5.Penilaian berdasarkan peninjauan lapangan
Sama seperti pada kelompok staf, namun dalam hal ini melibatkan wakil dan pimpinan pengembangan atau departemen SDM yang bertindak sebagai peninjau yang independen
a.Membawa satu pikiran yang tetap kedalam satu penilaian lintas sector yang besar.

6.Penilaian oleh bawahan dan sejawat
a.Mungkin terlalu subjektif
b.Mungkin digunakan sebagai tambahan pada metode penilaian yang lain.

Unsur-Unsur Kinerja
Menurut Siswanto (1987:194), pada umumnya unsur-unsur yang perlu diadakan penilaian dalam proses penilaian pelaksanaan pekerjaan antara lain:
1.Kesetiaan
Kesetiaan yang dimaksud adalah tekad dan kesanggupan mentaati, melaksanakan, dan mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab. Tekad dan kesanggupan tersebut harus dibuktikan dengan sikap dan tingkah laku tenaga kerja yang bersangkutan dalam kegiatan sehari-hari serta dalam perbuatan dan melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diemban kepadanya. Kesetiaan tenaga kerja terhadap perusahaan sangat berhubungan dengan pengabdiannya. Pengabdian yang dimaksud adalah sumbangan pikiran dan tenaga yang ikhlas dengan mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.

2.Prestasi Kerja
Yang dimaksud dengan prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seorang tenaga kerja dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Pada umumnya prestasi kerja seorang tenaga kerja antara lain dipengaruhi oleh kecakapan, ketrampilan, dan kesungguhan tenaga kerja yang bersangkutan.

3.Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah kesanggupan seorang tenaga kerja dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani memikul resiko atas keputusan yang telah diambilnya atau tindakan yang dilakukannya.

4.Keta’atan
Ketaatan adalah kesanggupan seseorang tenaga kerja untuk mentaati segala ketentuan, peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku, mentaati perintah kedinasan yang diberikan oleh atasan yang berwenang, serta kesanggupan untuk tidak melanggar larangan yang telah ditentukan oleh perusahaan maupun pemerintah, baik secara tertulis maupun tidak tertulis.

5.Kejujuran
Kejujuran adalah ketulusan hati seorang tenaga kerja dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan serta kemampuan tidak menyalahkangunakan wewenang yang telah diberikan kepadanya.

6.Kerjasama
Kerjasama adalah kemampuan seorang tenaga kerja untuk bekerja bersama-sama dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas dan pekerjaan yang telah ditentukan, sehingga mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar besarnya.

7.Prakarsa
Prakarsa adalah kemampuan seorang tenaga kerja untuk mengambil keputusan, langkah-langkah atau melaksanakan sesuatu tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok tanpa mununggu perintah dan bimbingan dari manajemen lininya.

8.Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki oleh seorang tenaga kerja untuk meyakinkan orang lain (tenaga kerja lain) sehingga dapat dikerahkan secara maksimal untuk melaksanakan tugas pokok. Penilaian unsure kepemimpinan bagi tenaga kerja sebenarnya khusus diperuntukkan bagi tenaga kerja yang mempunyai jabatan dalam perusahaan, baik Top Management, Middle Management maupun Lower Management

Faktor Penilaian Kinerja
Faktor-faktor penilaian kinerja adalah aspek yang diukur dalam proses penilaian kinerja individu. Menurut Casco dalam Handoko Kartjantoro, 2004, umumnya factor penilaian terdiri dari empat unsure utama, yaitu:
1.Hasil kerja, yaitu keberhasilan karyawan dalam melaksanakan pekerjaan.
2.Prilaku, yaitu aspek tindak tanduk pegawai dalam melaksanakan pekerjaan.
3.Kompetensi, yaitu kemahiran atau penguasaan pegawai terhadap tuntutan tugas dan jabatan.
4.Potensi, yaitu pengamatan terhadap kemampuan pegawai dimasa depan.

Aspek penting dalam penilaian kinerja adalah factor-faktor penilaian itu sendiri. Ada beberapa prinsip dalam memilih factor-faktor yang menjadi penilaian yaitu:
1.Relevance, yaitu harus ada kesesuaian antara factor-faktor penilaian dengan tujuan sistem penilaian.
2.Acceptability, yaitu dapat diterima atau disepakati pegawai.
3.Reliability, yaitu factor penilai harus dapat dipercaya dan diukur karayawan.
4.Sensitivity, yaitu dapat membedakan kinerja yang baik dan kinerja yang buruk.
5.Practicaliity, yaitu mudah dipahami dan diterapkan.

Menurut Gibson yang dikutip oleh Ilyas (1999:57) untuk mencapai kinerja yang baik ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja yaitu: Pertama, variabel individu, yang meliputi: Kemampuan dan keterampilan; Latar belakang keluarga, tingkat sosial, pengalaman, umur, etnis, jenis kelamin; Kedua, variabel organisasi, yang mencakup antara lain: Sumber daya; Kepemimpinan; Imbalan; Struktur; Desain pekerjaan; Ketiga, variabel psikologis, yang meliputi: Presepsi; Sikap; Kepribadian; Belajar; Motivasi.

Disamping factor-faktor tersebut diatas, penilaian kinerja didasarkan pada indicator sebagai berikuti:
1.Quality of work, yaitu kualitas kerja yang tercapai berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan.
2.Quantity of work, yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang telah ditentukan.
3.Job Knowledge, yaitu pemahaman pegawai mengenai prosedur atau tata cara kerja serta informasi teknis tentang pekerjaan.
4.Dependability, yaitu kemampuan untuk diandalkan khususnya dalam bekerja atau kemampuan menyelesaikan pekerjaan secara tepat sesuai dengan waktu yang ditentukan.
5.Adaptability, yaitu kemampuan beradaptasi atau kemampuan menanggapi kondisi dan perubahan yang terjadi di tempat kerja.
6.Initiative, yaitu upaya untuk melakukan hal-hal baru berkaitan dengan pekerjaan.
7.Creative, yaitu kemampuan memunculkan gagasan baru atau ide-ide baru berkaitan dengan pekerjaan.
8.Problem solving, Problem solving, yaitu kemampuan dalam melakukan tindakan-tindakan untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang timbul
9.Attendence, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan absensi atau sering tidaknya karyawan meninggalkan pekerjaan.
10. Cooperation, yaitu kesediaan pegawai untuk bekerjasama dan berpartisifasi dengan pegawai lainnya baik secara vertical maupun horizontal di dalam atau di luar pekerjaan

INOVASI DAN PRILAKU INOVASI


DR. EDDI SUPRAYITNO

1. Pengertian Inovasi

Istilah inovasi dalam organisasi pertama kali diperkenalkan oleh Schumpeter pada tahun 1934. Inovasi dipandang sebagai kreasi dan implementasi ‘kombinasi baru’. Istilah kombinasi baru ini dapat merujuk pada produk, jasa, proses kerja, pasar, kebijakan dan sistem baru. Dalam inovasi dapat diciptakan nilai tambah, baik pada organisasi, pemegang saham, maupun masyarakat luas. Oleh karenanya sebagian besar definisi dari inovasi meliputi pengembangan dan implementasi sesuatu yang baru (dalam de Jong & den Hartog, 2003) sedangkan istilah ‘baru’ dijelaskan Adair (1996) bukan berarti original tetapi lebih ke newness (kebaruan). Arti kebaruan ini, diperjelas oleh pendapat Schumpeter bahwa inovasi adalah mengkreasikan dan mengimplementasikan sesuatu menjadi satu kombinasi. Dengan inovasi maka seseorang dapat menambahkan nilai dari produk, pelayanan, proses kerja, pemasaran, sistem pengiriman, dan kebijakan, tidak hanya bagi perusahaan tapi juga stakeholder dan masyarakat (dalam de Jong & Den Hartog, 2003).

’Kebaruan’ juga terkait dimensi ruang dan waktu. ’Kebaruan’ terikat dengan dimensi ruang. Artinya, suatu produk atau jasa akan dipandang sebagai sesuatu yang baru di suatu tempat tetapi bukan barang baru lagi di tempat yang lain. Namun demikian, dimensi jarak ini telah dijembatani oleh kemajuan teknologi informasi yang sangat dahsyat sehingga dimensi jarak dipersempit. Implikasinya, ketika suatu penemuan baru diperkenalkan kepada suatu masyarakat tertentu, maka dalam waktu yang singkat, masyarakat dunia akan mengetahuinya. Dengan demikian ’kebaruan’ relatif lebih bersifat universal. ’Kebaruan’ terikat dengan dimensi waktu. Artinya, kebaruan di jamannya. Jika ditengok sejarah peradaban bangsa Indoensia, maka pada jaman tersebut maka bangunan candi Borobudur, pembuatan keris oleh empu, pembuatan batik adalah suatu karya bersifat inovatif di jamannya.

Ruang lingkup inovasi dalam organisasi (Axtell dkk dalam Janssen, 2003), bergerak mulai dari pengembangan dan implementasi ide baru yang mempunyai
dampak pada teori, praktek, produk, atau skala yang lebih rendah yaitu perbaikan
proses kerja sehari-hari dan desain kerja. Oleh karenanya, penelitian inovasi dalam organisasi dapat dilakukan dalam 3 level yaitu inovasi level individu, kelompok, dan organisasi (Adair, 1996; de Jong & Den Hartog, 2003).

Jika dilihat dari kecepatan perubahan dalam proses inovasi ada dua macam inovasi yaitu inovasi radikal dan inovasi inkremental (Scot & Bruece, 1994). Inovasi radikal dilakukan dengan skala besar, dilakukan oleh para ahli dibidangnya dan biasanya dikelola oleh departemen penelitian dan pengembangan. Inovasi radikal ini sering kali dilakukan di bidang manufaktur dan lembaga jasa keuangan. Sedangkan inovasi inkremental merupakan proses penyesuaian dan mengimplementasikan perbaikan yang berskala kecil. Yang melakukan inovasi ini adalah semua pihak yang terkait sehingga pendekatan pemberdayaan sesuai dengan model inovasi incremental ini (Bryd & Brown, 2003; Jones, 2004). Lebih lanjut De Jong & Den Hartog, (2003) menguraikan bahwa inovasi inkremental terlihat pada sektor kerja berikut ini :

i. Knowledge-intensive service (KIS) yakni usahanya meliputi pengembangan ekonomi sebagai contoh konsultan akuntansi, administrasi, R&D service, teknik, komputer, dan manajemen. Sumber utama inovasi dari kemampuan mereka untuk memberikan hasil desain yang sesuai untuk pengguna layanan mereka. Inovasi mereka hadirkan setiap kali dan tidak terstruktur.
ii. Supplier-dominated services meliputi perdagangan retail, pelayanan pribadi (seperti potong rambut), hotel dan restaurant.

Macam Inovasi berdasarkan fungsi ada dua yaitu inovasi teknologi dapat berupa produk, pelayanan atau proses produksi dan inovasi administrasi dapat bersifat organisasional, struktural, dan inovasi sosial (Brazeal & Herbert, 1997).

2. Perilaku inovatif
Pengertian perilaku inovatif menurut Wess & Farr (dalam De Jong & Kemp, 2003) adalah semua perilaku individu yang diarahkan untuk menghasilkan, memperkenalkan, dan mengaplikasikan hal-hal ‘baru’, yang bermanfaat dalam berbagai level organisasi. Beberapa peneliti menyebutnya sebagai shop-floor innovation (e.g., Axtell et al., 2000 dalam De Jong & Den Hartog, 2003). Pendapat senada dikemukakan oleh Stein & Woodman (Brazeal & Herbert,1997) mengatakan bahwa inovasi adalah implementasi yang berhasil dari ide-ide kreatif.

Bryd & Bryman (2003) mengatakan bahwa ada dua dimensi yang mendasari perilaku inovatif yaitu kreativitas dan pengambilan resiko. Demikian halnya dengan pendapat Amabile dkk (de Jong & Kamp, 2003) bahwa semua inovasi diawali dari ide yang kreatif. Kreativitas adalah kemampuan untuk mengembangkan ide baru yang terdiri dari 3 aspek yaitu keahilan, kemampuan berfikir fleksibel dan imajinatif, dan motivasi internal (Bryd & Bryman, 2003). Dalam proses inovasi, individu mempunyai ide-ide baru, berdasarkan proses berfikir imajinatif dan didukung oleh motivasi internal yang tinggi. Namun demikian sering kali, proses inovasi berhenti dalam tataran menghasilkan ide kreatif saja dan hal ini tidak dapat dikategorikan dalam perilaku
inovatif.

Dalam mengimplementasikan ide diperlukan keberanian mengambil resiko karena memperkenalkan ‘hal baru’ mengandung suatu resiko. Yang dimaksud dengan pengambilan resiko adalah kemampuan untuk mendorong ide baru menghadapi rintangan yang menghadang sehingga pengambilan resiko merupakan cara mewujudkan ide yang kreatif menjadi realitas (Bryd & Brown, 2003). Oleh karenanya, jika tujuan semula melakukan inovasi untuk kemanfaatan organisasi, tetapi jika tidak dikelola dengan baik justru menjadi bumerang. Adapun inovasi yang sesuai dengan perilaku inovatif adalah inovasi inkremental. Dalam hal ini, yang melakukan inovasi bukan hanya para ahli saja tetapi semua karyawan yang terlibat dalam proses inovasi tersebut. Oleh karenanya sistem pemberdayaan karyawan sangat diperlukan dalam perilaku inovatif ini.

Daftar Pustaka
Adair, J. 1996. Effective Innovation. How to Stay Ahead of the Competition. London: Pan Books.
Byrd, J & Brown, P.L. 2003. The Innovation Equation. Building Creativity and Risk Taking in Your Organization. San Fransisco: Jossey-Bass/Pfeiffer. A Wiley Imprint. www.pfeiffer.com
De Jong, J & Hartog, D D. 2003. Leadership as a determinant of innovative behaviour. A Conceptual framework. http://www.eim.net/pdf-ez/H200303.pdf. 21 April 2006
De Jong, JPJ & Kemp, R. 2003. Determinants of Co-workers’s Innovative Behaviour: An Investigation into Knowledge Intensive Service. International Journal of Innovation Management. 7 (2) (Juni 2003) 189 - 212. Diakses melalui EBSCO Publisher 22 Maret 2005.
Janssen, O. 2003. Innovative Behaviour and Job Involvement at the Price Conflict and Less Satisfactory Relations with Co-workers. Journal of Occupational and Organizational Psychology. 76. 347 - 364. Diakses melalui EBSCO Publisher 22 Maret 2005.
Scott, S. G & Bruce, R. A. 1994. Determinants of Innovative behavior: A Path Model Of Individual Innovation in the Workplace. Academy of Management Journal.. 37 (3) 580-607. Diakses melalui EBSCO Publisher 22 Maret 2005.

Kamis, 10 Maret 2011

INTELIJEN PEMASARAN

INTELIJEN PEMASARAN SEBAGAI STRATEGI DALAM KEUNGGULAN BERSAING PERUSAHAAN
Oleh: Eddi Suprayitno


ABSTRAK
Persaingan yang semangkin meningkat seiring dengan berlakunya sistem pasar bebas pada era abad ke 21 ini. Berbagai strategi digunakan perusahaan/organisasi guna memenangkan persaingan. Lingkungan eksternal perusahaan/organisasi merupakan salah faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu perusahaan untuk memenangkan persaingan. Untuk metode untuk mendapatkan informasi dari linkungan eksternal merupakan modal dasar bagi perusahaan untuk menata dan menyiapkan strategi yang digunakan perusahaan untuk mencapai keunggulan bersaing secara berkelanjutan (sustenable competitive advantage). Intelijen Pemasaran merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan perusahaan/organisasi untuk mendapatkan informasi pasar terutama konsumen dan pesaing. Strategi ini memfokuskan pada kebutuhan dan keinginan konsumen serta posisioning pesaing dan strategi yang digunakan pesaing. Perusahaan/organisasi yang mempu mengendalikan pasar (market driven) adalah merupakan perusahaan/organisasi memenangkan persaingan. Untuk itu perusahaan berupaya untuk mendapatkan informasi sebanyak dan secepat mungkin tentang kondisi pasar.

A. PENDAHULUAN
Dalam era globalisasi perusahaan dipaksa untuk siap meningkatkan daya saingnya, termasuk di dalam penentuan harga produk di pasar. Penentuan harga produk merupakan suatu aspek paling penting dalam konsep pemasaran, termasuk di dalam industri manufaktur dan jasa. Dari hasil riset, terungkap bahwa sampai hari ini ada satu strategi yang dipakai secara luas: penentuan harga berbasis estimasi biaya (cost-based pricing). Terdapat dua masalah besar dengan strategi ini, yaitu harga terlalu rendah atau harga terlalu tinggi relatif terhadap standar ”value” dari perusahaan. Akibatnya profit perusahaan menjadi tidak optimal atau malahan gagal sama sekali dalam mendapatkan pelanggan. Kedua hal tersebut sudah tentu dapat membawa perusahaan kepada kebangkrutan.

Untuk mengatasi hal tersebut, diusulkan untuk memakai pendekatan lain, yaitu apa yang dinamakan ”market-based pricing” (MBP). Pendekatan ini mengandalkan informasi pasar secara intensif untuk menentukan kebijakan dan besarnya harga sebuah produk, sehingga perusahaan akan lebih kompetitif sekaligus mendapatkan profit yang optimum. Berbagai Informasi pasar ini didapat melalui suatu fungsi di dalam perusahaan, yaitu apa yang disebut ”intelijen pemasaran” (selanjutnya akan disingkat IP). Dapat dikatakan bahwa jantung pendekatan harga MBP adalah kegiatan IP dari suatu perusahaan. Sistem IP yang telah dikembangkan di dunia manufaktur yang berbasis teknologi informasi di-eksplor, termasuk sistem informasi pemasaran (marketing information system- MIS), sistem dukungan pengambilan keputusan (decision support system- DSS), dan perkembangan dan praktek IP di perusahaan.

B. KONSEP PEMASARAN BARU
Konsep pemasaran yang baru di dunia manufaktur menekankan pentingnya orientasi kepada pasar. Informasi yang akurat mengenai pasar adalah inti dari konsep baru ini. Informasi mengenai klien, pesaing dan lingkungan bisnis, jika dikumpulkan secara kontinyu dan diatur untuk mendukung pengambilan keputusan, akan memungkinkan para manajer bisnis untuk membuat keputusan tidak hanya berdasar intuisi saja tetapi juga realitas pasar yang ada. Hasil akhirnya diharapkan dapat memperbaiki usaha pemasaran, termasuk dalam penentuan harga (Hutt dan Speh, 1989).

Konsep yang baru tersebut menekankan pentingnya orientasi kepada pasar, yang menempatkan prioritas tertinggi untuk mendapatkan nilai semaksimal mungkin untuk pelanggan, sambil juga tetap memperhatikan kepentingan "stakeholders" yang lainnya, dan mendorong berkembangnya budaya suatu organisasi yang mementingkan kepekaan terhadap informasi pasar (Slater dan Narver, 1995). Menurut beberapa ahli, orientasi terhadap pasar didorong dengan dikembangkannya keahlian perusahaan yang terkait, misalnya mencari tahu mengenai pelanggan dan informasi pasar lainnya, mensosialisasikan informasi itu ke seluruh organisasi perusahaan, mencari kesatuan pendapat mengenai arti informasi itu, dan akhirnya membuat aksi nyata untuk menciptakan nilai maksimal untuk pelanggan. Hal penting disini adalah pembedaan antara mencari tahu 'tentang' pelanggan, dan bukan hanya mencari tahu 'dari' pelanggan. Lebih jauh lagi, walaupun untuk selalu menjaga komunikasi dengan pelanggan baik formal maupun informal adalah penting, sebenarnya ada banyak lagi cara-cara lain untuk mempelajari tentang pelanggan dan kebutuhan-kebutuhannya. Misalnya dapat melalui eksperimen pasar yang hasilnya dievaluasi dengan seksama. Dapat juga melalui cara tidak langsung, seperti melalui konsultan, perguruan tinggi, kelompok-kelompok bisnis yang mempunyai pengetahuan yang mendalam mengenai kebutuhan pelanggan yang laten. Selain mengenai pelanggan, informasi pasar yang penting adalah mengenai pesaing-pesaing bisnis, dengan mempelajari strategi, tujuan, kekuatan dan kelemahannya, dan akhirnya memperkirakan pola kebiasaan reaksi-reaksi bisnisnya (Kotler, 1997).

Perusahaan harus juga belajar dari pengalaman, dan membuat perbaikan-perbaikan berdasarkan pengalaman tersebut. Suatu studi (Slater dan Narver, 1996) berkesimpulan bahwa kemauan perusahaan untuk belajar mengenai pasar ini akan menyumbangkan secara unik terhadap efektifitas keberhasilan bisnis. Hasil-hasil studi diatas mendukung pentingnya kegiatan IP dalam sebuah perusahaan. Berdasarkan konsep ini muncullah strategi harga berbasis pasar yang sangat berkembang dalam industri manufaktur (Best, 1997).

C. SISTEM INTELIJEN PEMASARAN
Sistem IP adalah suatu prosedur dan sumber yang digunakan oleh manajer untuk mendapatkan informasi setiap harinya tentang perkembangan berkelanjutan dari pasar. Jadi sistem ini memberikan data/informasi apa yang terjadi pada pasar (Kotler, 1997). Tujuannya yang mendasar adalah untuk membantu para manajer pemasaran membuat keputusan yang mereka hadapi setiap hari dalam berbagai area tugasnya, termasuk memutuskan besarnya harga. Sebagai pemimpin di perusahaannya, para manajer pemasaran mempunyai kebutuhan yang tinggi mengenai informasi pasar, seperti perubahan cara membeli kliennya, perubahan kebutuhan jasa/produknya, dan lain-lain (Churchill, 1995). Selanjutnya akan dibahas beberapa teknik IP berbasis teknologi informasi.

Dua teknik IP berbasis teknologi informasi yang terus meningkat kepopulerannya adalah marketing information systems (MISs) and decision support systems (DSSs). MISs and DSSs bukanlah saling bersaing, melainkan bersifat komplementer. Menurut beberapa ahli, MIS adalah satu set prosedur dan metoda untuk secara reguler mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan informasi untuk keperluan membuat keputusan pemasaran. Kata kuncinya adalah "reguler", karena penekanan pada MIS adalah sistem pengumpulan informasi yang diperlukan dalam pengambilan keputusan yang berulang. Dalam merancang MIS, yang diperlukan adalah analisis yang rinci bagaimana cara dan gaya seorang manajer dalam mengambil keputusannya. Tidak saja jenis informasinya, tetapi juga bagaimana informasi itu harus disajikan kepada manajer tersebut. Kemudian perancang MIS merumuskan dan membuat berbagai bentuk penyajian informasi kepada para pengambil keputusan (McLeod dan Rogers, 1985). Biasanya bank datanya terpisah untuk data umum penjualan, data pasar, data produk, data agen penjualan, dan data klien. Hanya setelah langkah-langkah perumusan ini selesai, baru sistem itu dapat dibangun, yang intinya merupakan pemrograman komputer yang seefisien mungkin dalam hal memori dan kecepatan prosesnya. Jika sudah benar, maka program dihubungkan dalam suatu jaringan komputer perusahaan, sehingga para manajer dapat mengakses data dengan cepat dalam bentuk yang disukainya. Pada awal-awal dari MIS ini, permintaan itu dipusatkan pada bagian pusat informasi atau pusat pengolahan data suatu perusahaan.

Kini, para manajer dapat mengaksesnya lewat terminal komputer dimeja masing-masing. Tetapi, ada beberapa masalah dengan MIS ini. Problem pertama adalah banyak pengambil keputusan yang enggan untuk memberitahukan faktor apa yang mereka gunakan dan bagaimana mereka mengkombinasikan faktor-faktor itu waktu mereka membuat keputusan. Akibatnya, tidaklah mungkin untuk mendisain bentuk laporan data/informasi dalam bentuk yang mereka sukai. Bahkan, terkadang jikapun caranya sudah diketahui, sering pemrogram masih kesulitan mendisain sistemnya karena cukup kompleks dan rumit. Problem kedua adalah bahwa setiap manajer biasanya mengutamakan hal-hal berbeda, dan akibatnya membutuhkan data yang berbeda, sehingga format laporan yang optimal untuk beberapa pemakai MIS dalam suatu perusahaan sangatlah sulit dibangun. Terpaksa ada kompromi dalam bentuknya, sehingga tidak optimal untuk semua pemakainya, atau pemrogram MIS harus membuat disain yang sangat rumit dan lama untuk memuaskan semua pemakai. Problem ketiga adalah karena seringkali problem sehari-hari adalah problem yang sangat sulit di programkan dalam MIS, akibat banyaknya rantai alternatif dalam proses pengambilan keputusan. Hasilnya, banyak aktifitas yang dilakukan oleh manajer mustahil untuk diprogramkan dalam komputer (Churchill, 1995).

Dengan adanya problem-problem dengan MIS tersebut, kegiatan IP yang rutin ditekankan kepada sistem yang lebih fleksibel, yaitu apa yang disebut "Decision Support Systems" (DSS). DSS adalah sistem, alat, dan teknik pengumpulan data yang terkoordinasi dengan bantuan perangkat lunak dan perangkat keras komputer dimana perusahaan mengumpulkan dan menginterpretasikan informasi yang relevan dari lingkungan bisnisnya dan menjadi dasar untuk keputusan kegiatan-kegiatan perusahaan termasuk kegiatan pemasaran. DSS terdiri atas "data systems", "model systems", dan "dialog systems" yang dapat berinteraktif dengan para manajer pemakai DSS. "Data systems" adalah proses dan metoda untuk mendapatkan dan menyimpan data dari bagian pemasaran, keuangan, produksi dan juga sumber-sumber lain baik internal maupun eksternal. Biasanya sistem ini mempunyai modul-modul yang mempunyai informasi mengenai pelanggan, keadaan ekonomi secara umum, perusahaan saingan, dan industri spesifik terkait, termasuk tren dari pasar. Dapat juga termasuk data mengenai bagaimana faktor-faktor penting saling berkaitan dengan keputusan klien untuk membeli suatu produk, besarnya harga yang dibayar dan sebagainya. Sumber informasi bisa dari hasil riset pemasaran atau dapat pula membeli dari agen khusus. Satu perkembangan penting dari DSS adalah terjadinya 'peledakan' dari database informasi pada tahun-tahun terakhir ini. Saat ini ada ratusan ribu database yang dapat diakses melalui komputer.

"Model System" memungkinkan pemakai mangadakan pengolahan data untuk analisa data sesuai kebutuhan pemakai itu sendiri. Kapan saja seorang manajer melihat suatu data, mereka akan mempunyai pemikiran sendiri bagaimana dan apa yang menarik dari data tersebut. Manajer tersebut biasanya akan mengolah data untuk dapat mengerti lebih baik data yang berhubungan dengan tanggung jawabnya, termasuk masalah harga produk. Pengolahan data ini termasuk menjumlahkan suatu kelompok data, dan analisa statistik yang sederhana sampai yang kompleks, misalnya strategi optimasi dengan pendekatan non-linear program dan sebagainya. Operasi yang paling sering dipakai adalah memisahkan data dalam kelompok-kelompok, mengelompokkan lebih jauh lagi dalam grup-grup, menghitung rasio, merangking, memisahkan untuk kasus-kasus khusus, memplot grafik, dan membuat tabel. Dalam menjawab meledaknya jumlah informasi akhir-akhir ini, beberapa perusahaan telah mengembangkan "expert systems" yang mencoba mengembangkan model-model bagaimana seorang ahli (expert) memproses dan mengolah informasi untuk memecahkan problem yang dihadapi.

"Dialog Systems", biasa disebut juga "language systems", adalah perkembangan DSS yang paling penting yang juga sangat membedakan antara DSS dan MIS. Sistem ini memungkinkan manajer yang tidak mengerti masalah program komputer dapat dengan mudah meng-eksplor database, dan membuat suatu report yang sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Hal ini memungkinkan mereka mandapatkan informasi yang benar-benar mereka butuhkan. Dengan sistem ini, manajer dapat bertanya, kemudian bedasarkan jawaban DSS dapat bertanya lagi, terus menerus sampai mendapatkan informasi spesifik yang diperlukan. Menjawab peledakan database "on-line" yang dapat diakses, perusahaan besar menggunakan jaringan komputer yang saling terhubung satu sama lain. Sehingga manajer dapat memasukkan data, menarik data (termasuk dari database yang "on-line"), melakukan analisa-analisa, memplot, melakukan analisa statistik, bahkan dapat menyiapkan suatu report, dengan hanya menggunakan perintah dan prosedur yang sederhana di meja masing-masing. Jadi DSS menekankan pada fleksibilitas dan kemampuan adaptasi yang tinggi. DSS dapat mengakomodir berbagai cara yang berbeda dari manajer dalam mengolah data dan mengambil keputusan, serta perubahan kondisi eksternal perusahaan (Churchill, 1995).

Peran DSS menjadi semakin menguat dalam kegiatan IP karena semakin banyaknya program komputer yang dapat menolong manajer dalam menganalisa, merencanakan dan mengontrol tindakan mereka. Sebagai contoh Marketing News edisi April 1994 memuat daftar lebih dari 100 program komputer mengenai pemasaran yang dapat membantu perancangan studi dan riset pemasaran, membuat segmentasi pasar, membuat keputusan mengenai harga jasa/produk dan anggaran promosi, perencanaan kegiatan tenaga penjualan dan lain-lain (Kotler, 1997). Lebih jauh lagi, dengan semakin berkembangnya teknologi "neural network", para profesional dibidang pemasaran dan penjualan dapat mengakses pengetahuan dari para ahli dengan beberapa sentuhan keyboard komputer mereka. Diyakini secara luas, bahwa pemanfaatan "expert systems" dalam DSS akan menjadi kekuatan utama dalam pemasaran, termasuk dalam keputusan harga secara lebih efisien. Perangkat lunak "neural network", yang dirancang mengikuti pola kerja otak manusia, benar-benar dapat 'belajar' dari data-data yang diberikan. Hebatnya expert systems mutakhir tidak memerlukan komputer yang kemampuan dan harganya istimewa. Dalam lima tahun terakhir, neural network dan teknologi lainnya dari "artificial intelligence" dapat diadaptasikan dengan "personal computer" (Kotler, 1997). Dengan bantuan dari kegiatan IP, para manajer dapat memutuskan strategi harga yang paling tepat sehingga produk/jasa mereka dapat lebih bersaing dengan tidak membiarkan begitu saja kesempatan untuk meraih keuntungan yang maksimal.

D. KESIMPULAN
Meningkatnya persaingan pada era globalisasi pasar mendorong setiap bisnis untuk mempu lebih unggul dibanding para pesaingnya. Upaya yang dilakukan oleh perusahaan/organisasi dalam menciptakan keunggulan bersaing yang berkelanjutan (sustanable competitive advantage) dengan melaksanakan stratejik intelijen pasar (market inteligent strategic). Stratejik intelijen pasar merupakan stratejek yang dilakukan perusahaan/organisasi untuk mendapatkan informasi tentang kondisi pasar yaitu; keinginan dan kebutuhan konsumen, kondisi dan perkembangan para pesaing, perantara/distributor, pemasok/suplayer serta sistem koordinasi di internal perusahaan dalam menghadapi persaingan dan pelayanan terhadap konsumen.

Informasi merupakan salah satu faktor penentu untuk terciptanya keunggulan bagi suatu perusahaan. Bill Gate menyatakan bahwa barangsiapa mempu mendapatkan informasi sebanyak dan secepat mungkin maka dia akan mengusai dunia. Strategi intelijen pemasaran merupakan suatu cara/metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi pasar dan pesaing dalam upaya memenangkan persaingan di pasar global.

Daftar Pustaka
Best, R.J. “Market-Based Management Strategies for growing customer Value and Profitability.” Prentice Hall, New Jersey, 1997.
Churchill Jr., G.A. “Marketing Research Methodological Foundations.” The Dryden Press, Sixth Edition, Firth Worth, 1995.
Hutt, M.D. and Speh T.W. “Instructor’s edition Business Marketing Management A Strategic View of Industrial and Organizational Markets.” Third Edition, The Dryden Press, Chicago, 1989.
Kotler, P. “Marketing Management Analysis, Planning, Implementation, and Control.” 9th edition, Prentice Hall, New Jersey, 1997.
McLeod, Jr., R., Rogers, J.C. “Marketing Information Systems: Their Current Status in Fortune 1000 Companies.” Journal of Management Information Systems, 1 (Spring), 1985, pp.57-75.
Safford, Jr., A.T. “Developing a System of Competitive Intelligence.” AMA Management Report Pricing: The Critical Decision, Marketing Division American Management Association, Inc, No. 66, New York, 1961.
Slater, S,F., Naver, J. “Market Orientation and Learning Organization.” Journal of Marketing, 59(July), 1995, pp. 63-74.

Selasa, 25 Januari 2011

BALANCE SCORECARD SEBAGAI ALAT UKUR KINERJA PERUSAHAAN

Pendahuluan
Perusahaan perlu melakukan evaluasi terhadap kinerjanya untuk mengetahui kondisi dan pertumbuhan bisnisnya. Kinerja merupakan salah satu indikator ukuran keberhasilan dari setiap bisnis. Berbagai teknik pengukuran kinerja telah dikembangkan untuk memberikan gambaran yang tepat dari setiap bisnis. Kaplan dan Norton pada tahun 1990-an mengemukakan bahwa kartu skor keseimbangan (balanced scorecard) merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dengan berdasarkan empat perspektif, yaitu; perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Keempat perspektif kartu skor ini menawarkan suatu keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan panjang, hasil yang diinginkan dan pemicu kerja dari hasil tersebut; serta tolak ukur yang pasti dan tolak ukur yang lebih lunak dan subyektif.

Pengukuran Kinerja
Balance scorecard merupakan metode yang bertujuan untuk menekankan adanya keseimbangan antara factor eksternal dan internal untuk pengukuran kinerja perusahaan. Keseimbangan pertama adalah antara pengukuran eksternal untuk pemegang saham dan pelanggan dengan pengukuran internal dari proses bisnis internal, inovasi dan proses belajar dan pertumbuhan. Keseimbangan berikutnya adalah antara pengukuran hasil usaha masa lalu dengan pengukuran yang mendorong kinerja masa mendatang. Keseimbangan terakhir adalah antara unsur obyektifitas, yaitu pengukuran berupa hasil kuantitatif yang diperoleh secara mudah, dengan unsur subyektifitas, yaitu pengukuran pemicu kinerja yang membutuhkan pertimbangan.

Balance scorecard (kartu skor keseimbangan) merupakan suatu sistem manajemen yang menjabarkan misi dan strategi perusahaan ke dalam tujuan operasional dan tolak ukur kinerja. Kartu skor keseimbangan memiliki karakteristik komprehensif, koheren, seimbang dan terukur. Kartu skor keseimbangan memperluas perspektif yang dicakup dalam pengukuran kinerja, dari yang sebelumnya hanya terbatas pada perspektif keuangan, meluas ketiga perspektif lainnya. Kartu skor keseimbangan mewajibkan personel untuk membangun hubungan sebab akibat di antara berbagai tolok ukur yang dihasilkan dalam perencanaan. Setiap sasaran yang ditetapkan dalam perspektif non keuangan harus mempunyai hubungan kausal dengan sasaran keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keseimbangan di antara keempat perspektif dalam Kartu skor keseimbangan yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik penting untuk menghasilkan kinerja keuangan yang berjangka panjang. Kartu skor keseimbangan mengukur sasaran strategic yang sulit untuk diukur. Sasaran strategic di perspektif pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan merupakan sasaran yang tidak mudah diukur, namun dalam pendekatan kartu skor keseimbangan di ketiga perspektif non keuangan tersebut ditentukan ukurannya sehingga dapat diwujudkan untuk mengukur kinerja perusahaan.

Tujuan dan ukuran finansial harus memainkan peran ganda, menentukan kinerja finansial yang diharapkan dari strategi dan menjadi sasaran akhir tujuan dan ukuran perspektif kartu skor lainnya. Untuk menyederhanakan, kartu skor keseimbangan mengindentifikasikannya menjadi tiga tahap, yaitu tahap pertumbuhan, bertahan dan menuai.

Tujuan finansial keseluruhan perusahaan dalam tahap pertumbuhan adalah peningkatan persentase pertumbuhan pendapatan dan tingkat pertumbuhan penjualan di berbagai pasar sasaran, kelompok pelanggan dan wilayah. Tujuan finansial pada tahap bertahan akan bertumpu pada ukuran finansial tradisional, seperti pengembalian modal yang diberdayakan, laba operasi dan marjin kotor. Sebagian perusahaan akan memakai berbagai ukuran financial baru, seperti nilai tambah ekonomis dan nilai pemegang saham. Tujuan financial keseluruhan untuk bisnis pada tahap menuai adalah arus kas operasi dan penghematan berbagai kebutuhan modal kerja. Setiap investasi harus memberikan pengembalian kas yang segera dan pasti.

Dalam perspektif pelanggan, selain keinginan untuk memuaskan dan menyenangkan pelanggan, para manajer unit bisnis juga harus menerjemahkan pernyataan misi dan strategi ke dalam tujuan yang disesuaikan dengan pasar dan pelanggan yang spesifik, terutama dalam penciptaan nilai pelanggan yang superior. Kelompok ukuran pelanggan utama pada umumnya sama untuk semua jenis perusahaan. Kelompok ini terdiri dari ukuran pangsa pasar, retensi pelanggan, akuisisi pelanggan, kepuasan pelanggan, dan profitabilitas pelanggan.

Dalam persepktif proses bisnis internal, kartu skor keseimbangan menetapkan tiga model dari proses bisnis utamanya, yaitu proses inovasi, operasi dan layanan purna jual. Bagi banyak perusahaan, menjadi efektif, efisien dan tepat waktu dalam proses inovasi lebih penting daripada menjadi hebat dalam proses operasi sehari-hari yang telah menjadi fokus tradisional dari literature rantai nilai internal. Proses operasi merupakan gelombang pendek penciptaan nilai dalam perusahan. Dimulai dengan diterimanya pesanan pelanggan dan diakhiri dengan penyampaian produk atau jasa kepada pelanggan. Proses ini menitikberatkan kepada penyampaian produk dan jasa kepada pelanggan yang ada secara efisien, konsisten dan tepat waktu. Tahap terakhir nilai rantai internal adalah layanan purna jual. Layanan purna jual mencakup garansi dan berbagai aktifitas perbaikan, penggantian produk yang rusak dan yang dikembalikan, serta proses proses pembayaran, seperti administrasi kartu kredit. Proses layanan purna jual bertujuan untuk memuaskan pelanggan.

Pengalaman dalam membangun kartu skor keseimbangan di berbagai perusahaan jasa dan manukfatur telah mengungkapkan tiga kategori utama untuk perspektif pembelajaran dan pertumbuhan yaitu kapabilitas pekerja, kapabilitas sistem informasi, dan motivasi, pemberdayaan dan keselarasan. Gagasan untuk meningkatkan proses dan kinerja untuk pelanggan harus datang dari pekerja lini yang paling depan yang paling dekat dengan proses internal dan pelanggan perusahaan. Dalam kapabilitas pekerja ada tiga pengukuran yaitu: kepuasan pekerja, retensi pekerja dan produktifitas pekerja. Para pekerja garis depan perlu mendapatkan informasi yang akurat dan tepat waktu tentang setiap hubungan yang ada antara perusahaan dengan pelanggan. Tujuan pembelajaran dan pertumbuhan terfokus pada iklim perusahaan yang mendorong motivasi dan inisiatif pekerja. Hal ini dapat diukur dengan melakukan survei terhadap motivasi, pemberdayaan dan keselarasan pekerja.

Penutup
Balance Scorecard (kartu keseimbangan) merupakan strategi bagi perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya. Hal ini sudah dibuktikan oleh banyak perusahaan/organisasi yang berhasil dalam meningkatkan kinerja perusahaannya. Untuk mencapai peningkatan kinerja tersebut perusahaan/organisasi dipersyaratkan untuk konsisten dan disiplin dalam menerapkan balance-scorecard dengan focus dan professional, saya yakin perusahaan anda akan berhasil.

EDDI SUPRAYITNO: Perspektif Balanced Scorecard

EDDI SUPRAYITNO: Perspektif Balanced Scorecard: "A. Perspektif Balanced Scorecard Balanced Scorecard (BSC) merupakan pendekatan baru terhadap manajemen, yang dikembangkan pada tahun 1990-..."

Perspektif Balanced Scorecard

A. Perspektif Balanced Scorecard

Balanced Scorecard (BSC) merupakan pendekatan baru terhadap manajemen, yang dikembangkan pada tahun 1990-an oleh Robert Kaplan (Harvard Business School) dan David Norton (Renaissance Solution, Inc.). Pengakuan atas beberapa kelemahan dan ketidakjelasan dari pendekatan pengukuran kinerja keuangan sebelumnya, BSC menyajikan sebuah perspektif yang jelas sebagaimana sebuah perusahaan harus mengukur supaya tercapai keseimbangan perspektif keuangan. Kaplan dan Norton merangkum rasional untuk BSC sebagai berikut. BSC tetap mempertahankan pengukuran keuangan tradisional. Tetapi pengukuran keuangan menceritakan kejadian masa lalu, suatu laporan yang cukup untuk era industri untuk kemampuan investasi jangka panjang dan relationship pelanggan tidak secara kritis untuk keberhasilan. Pengukuran keuangan adalah tidak layak, bagaimanapun juga, untuk memandu dan mengevaluasi suatu perjalanan yang mana perusahaan pada era informasi harus membuat suatu nilai masa depan melalui investasi dalam pelanggan, pemasok, pekerja, proses, teknologi, dan inovasi.

BSC menyarankan bahwa kita melihat suatu kinerja organisasi dari empat perspektif berikut: (1) The Learning and Growth Perspective, (2) The Business Process Perspective, (3) The Customer Perspective, dan (4) The Financial Perspective.

1. Learning and Growth Perspektive Kategori-kategori yang terdapat dalam perspektif ini teridiri atas kemampuan karyawan; kemampuan sistem informasi; dan motivasi, pemberdayaan, serta kesesuaian dengan standard kinerja. Ukuran intinya adalah produktivitas karyawan, yang diukur dari: jumlah output tiap karyawan, tingkat kepuasan karyawan, tinggi rendahnya pengakuan terhadap prestasi karyawan, tingkat keterlibatan karyawan dalam proses pengambilan keputusan, kemudahan akses karyawan terhadap informasi yang menunjang pekerjaannya, dan tingkat retensi atau penolakan karyawan, yang diukur dari jumlah perputaran (turn over) staf atau karyawan potensial.

2. Internal-Business-Process Perspective Dalam perspektif internal-business-process, manajer mengenali proses-proses kritis pada yang mana mereka harus unggul jika mereka akan mencapai tujuan-tujuan dari shareholder dan segmen pelanggan yang menjadi target. Sistem pengukuran performans konvensional fokus hanya pada monitoring dan peningkatan biaya, mutu, dan waktu yang didasarkan pada proses bisnis yang ada. Secara jelas, pendekatan dari BSC memungkinkan permintaan untuk performans proses internal untuk menurunkan harapan-haran khusus dari pihak eksternal perusahaan.

3. Customer Perspective Perspektif Pelanggan ini menggambarkan tampilan perusahaan di mata pelanggan. Hal ini merupakan konsekuensi dari tingkat persaingan usaha yang makin ketat, sehingga perusahaan dituntut memahami kebutuhan pelanggannya (customer driven company) Ukuran utama dari perspektif pelanggan adalah market share, custumer acquisition, custumer retention, customer satisfaction, dan customer profitability. Kelima buah ukuran ini tidaklah terpisah-pisah, melainkan memiliki saling keterhubungan. Keterhubungannya dapat digambarkan sebagai berikut.

4. Financial Perspective Tujuan finansial menyajikan suatu fokus untuk tujuan dan ukuran dalam seluruh perspektif BSC. Setiap ukuran dipilih harus menjadi bagian dari suatu hubungan sebab-akibat yang memuncak dalam peningkatan performans keuangan. BSC harus menguraikan tentang strategi, dimulai dengan tujuan finansial jangka panjang, dan kemudian keterkaitannya terhadap bagian-bagian tindakan yang harus diambil dengan proses finansial, pelanggan, internal proses, dan terakhir karyawan dan sistem untuk mengantarkan performans ekonomis jangka panjang yang diharapkan. Walaupun bergantung pada daur hidup industrinya, tujuan strategi perspektif keuangan pada umumnya terkait pada upaya: peningkatan pendapatan, pengurangan biaya atau peningkatan produktivitas, dan utilisasi aset perusahaan.
Dengan demikian dalam persaingan yang semakin tajam, manajemen memerlukan informasi biaya yang teliti, yang memperhitungan secara cermat sumber dana (resources) yang dikorbankan untuk aktivitas penambah nilai bagi customers. Sumber dana ini dapat berasal dari modal sendiri, dana pihak ketiga, dan dari masyarakat.

B. Kebijakan Biaya dan Mutu Produk/Layanan

1. Identifikasi Biaya Mutu. Pembebanan biaya dan perhitungan biaya harus dilakukan secara cermat dan hati-hati, karena biaya merupakan faktor penting dalam memenangkan persaingan. Customers akan memilih produk/jasa yang mampu memeberikan kepuasan dengan memiliki mutu tinggi dengan harga yang termurah. Harga murah hanya dapat dihasilkan oleh perusahaan yang secara terus menerus melakukan perbaikan terhadap aktivitas-penambah nilai (value-added activities), dan yang senantiasa berusaha menghilangkan aktivitas bukan penambah nilai (non-value-added activities). Dengan demikian, cost effectiveness menjadi salah satu faktor untuk memenangkan persaingan jangka panjang.

2. Identifikasi Sumber Dana. Perusahaan harus mampu menghasilkan produk/layanan yang bermutu dengan harga yang rendah untuk dapat tetap bertahan di pasar. Perusahaan berlomba untuk menghasilkan produk/layanan yang bermutu dengan harga yang rendah dengan berpedoman bahwa customers hanya dibebani dengan biaya-biaya untuk aktivitas-penambah nilai (value-added activities).

Dengan demikian dalam persaingan yang semakin tajam, manajemen memerlukan informasi biaya yang teliti, yang memperhitungan secara cermat sumber dana (resources) yang dikorbankan untuk aktivitas penambah nilai bagi customers. Sumber dana ini dapat berasal dari modal sendiri, dana pihak ketiga, dan dari masyarakat.

3. Struktur Pentaripan. Dengan semakin mudahnya customers memperoleh informasi mengenai mutu, harga, dan peringkat citra, maka customers hanya memilih perusahaan yang mampu memberikan layanan/produk yang sesuai dengan kebutuhannya, dengan harga yang terendah diantara harga berbagai yang ditawarkan oleh perusahaan lain. Keadaan ini memaksa para pengusaha hanya membebani customers dengan harga yang benar-benar wajar. Dalam situasi seperti ini, struktur penetapan harga harus ditentukan berdasarkan biaya penuh layanan/produk yang dihitung secara cermat.

4. Biaya yang Dibebankan kepada customer.
Titik berat strategi untuk memenangkan persaingan yaitu pada usaha-usaha untuk menghilangkan non-value added activities. Non-value added activities merupakan aktivitas yang tidak seharusnya menjadi beban customers, sehingga seharusnya dihilangkan dari proses/aktivitas. Dengan demikian, manajemen memerlukan informasi biaya penuh yang dikaitkan dengan berbagai aktivitas untuk mempertahankan dan memperbaiki mutu layanan agar sesuai dengan mutu yang diharapkan oleh customers sebagai pemakai layanan/produk.

5. Mutu Pelayanan/produk. Agar customers terjamin hanya akan dibebani dengan biaya yang wajar, maka perusahaan harus senantiasa melakukan penyempurnaan aktivitas secara berkesinambungan (continual improvement) yang digunakan untuk menghasilkan layanan. Pengumpulan informasi biaya penuh masa lalu ditujukan untuk memberikan kemudahan dalam menghilangkan berbagai pemborosan yang terjadi dalam aktivitas untuk menghasilkan layanan. Ukuran mutu yang digunakan ditetapkan berdasarkan empat perspektif, yaitu kualitas dan kapabilitas personal, kualitas proses produksi/layanan, dan kinerja keuangan.

Didasarkan pada suatu anggapan bahwa organisasi pada hakikatnya adalah sekelompok orang yag memiliki ketergantungan satu dengan lainnya, yang secara bersama-sama mefokuskan usaha mereka untuk mencapai tujuan atau tugas tertentu yang telah disepakati.

C. Kesimpulan

Jika kualitas personal atau sumberdaya manusia telah ditingkatkan melalui pembangunan human capital, langkah selanjutnya adalah memanfaatkan human capital tersebut untuk membangun organizational capital dengan mendesain dan mengoperasikan organisasi dan proses yang cost effektive yang diintegrasikan dengan upaya menghasilkan value bagi customer. Melalui organizational capital, human capital dimobilisasikan secara sinergistik untuk menghasilkan value bagi customer yang pada akhirnya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama akan mewujudkan kinerja keuangan jangka panjang.